Bencana alam lumpur Lapindo memang menyisakan duka yang mendalam khususnya bagi warga yang berada disekitar areal yang terkena dampak lumpur Lapindo. Sampai detik ini pun, Lapindo masih memuntahkan lumpur dari perut bumi hingga membentuk kawah lumpur panas yang semakin hari semakin tinggi.
Namun dibalik bencana Lapindo, banyak masyarakat yang terus berupaya mengolah lumpur Lapindo yang melimpah menjadi barang/bahan yang dapat dimanfaatkan kembali atau mampu memberikan pendapatan (uang) saat dijual. Salah satu yang bisa dimanfaatkan dari bencana Lapindo ini adalah lumpur.
Bagi warga sekitar, lumpur Lapindo disulap menjadi bahan kerajinan atau bahan bangunan, seperti gerabah, genting, batu-bata, batako dan sebagainya. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh warga ternyata tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Batu-bata, batako, genting, dan sebagainya yang dibuat ternyata tidak memiliki kualitas yang bagus. Bata yang di buat dari lumpur Lapido umumnya retak dan mudah patah saat dibakar, sehingga untuk dapat digunakan pada proyek-proyek pembangunan besar rasanya sangat mustahil. Hal demikian akibat dari proses/teknik pembakaran yang salah, sehingga kandungan mineral yang ada di dalam lumpur Lapindo tidak tercampur secara sempurna.
Berbeda dengan yang dilakukan oleh seorang Profesor Universitas Kristen Petra Surabaya, Prof Djwantoro Hardjito dari Prodi Teknik Sipil melakukan penelitian terhadap kandungan mineral yang ada di lupur Lapindo. Dari penelitiannya, di dapatlah hasil bahwa lumpur Lapindo mengandung SiO2, Al2O3, dan Fe2O3 yang jumlahnya hingga 85 persen, artinya kandungan mineral ini hampir sama dengan mineral penyusun Semen.
Dari hasil penelitian ini, Prof Djwantoro melakukan penelitian untuk mengubah lumpur Lapindo menjadi beton yang berkualitas tinggi. Caranya, beliau mengambil lumpur Lapindo kemudian membakarnya dengan tujuan untuk mengubah strukturnya, hingga membentuk gumpalan-gumpalan lumpur. Gumpalan tadi lalu digiling halus untuk selanjutnya di bakar dengan suhu 600 derajat celcius hingga mendapatkan reaktivitas yang diingikannya.
Semen halus hasil pembakaran ini kemudian dijadikan bahan baku pembuatan beton. Hasil temuan Profesor Petra ini lalu diuji coba dengan cara mencampurkan lumpur Lapindo tadi dengan semen, dengan perbandingan 50% lumpur Lapindo dan 50% semen. Alhasil, dari percobaan ini didapatlah beton dengan kekuatan 50,80 mpa (mega pascal) setelah beton berumur 28 hari. Kekuatan beton ini melebihi kekuatan standar beton biasa atau hampir mendekati kekuatan beton Petronas Twin Tower (60 mpa).
Namun dibalik bencana Lapindo, banyak masyarakat yang terus berupaya mengolah lumpur Lapindo yang melimpah menjadi barang/bahan yang dapat dimanfaatkan kembali atau mampu memberikan pendapatan (uang) saat dijual. Salah satu yang bisa dimanfaatkan dari bencana Lapindo ini adalah lumpur.
Bagi warga sekitar, lumpur Lapindo disulap menjadi bahan kerajinan atau bahan bangunan, seperti gerabah, genting, batu-bata, batako dan sebagainya. Akan tetapi apa yang dilakukan oleh warga ternyata tidak mendapatkan hasil yang memuaskan. Batu-bata, batako, genting, dan sebagainya yang dibuat ternyata tidak memiliki kualitas yang bagus. Bata yang di buat dari lumpur Lapido umumnya retak dan mudah patah saat dibakar, sehingga untuk dapat digunakan pada proyek-proyek pembangunan besar rasanya sangat mustahil. Hal demikian akibat dari proses/teknik pembakaran yang salah, sehingga kandungan mineral yang ada di dalam lumpur Lapindo tidak tercampur secara sempurna.
Berbeda dengan yang dilakukan oleh seorang Profesor Universitas Kristen Petra Surabaya, Prof Djwantoro Hardjito dari Prodi Teknik Sipil melakukan penelitian terhadap kandungan mineral yang ada di lupur Lapindo. Dari penelitiannya, di dapatlah hasil bahwa lumpur Lapindo mengandung SiO2, Al2O3, dan Fe2O3 yang jumlahnya hingga 85 persen, artinya kandungan mineral ini hampir sama dengan mineral penyusun Semen.
Dari hasil penelitian ini, Prof Djwantoro melakukan penelitian untuk mengubah lumpur Lapindo menjadi beton yang berkualitas tinggi. Caranya, beliau mengambil lumpur Lapindo kemudian membakarnya dengan tujuan untuk mengubah strukturnya, hingga membentuk gumpalan-gumpalan lumpur. Gumpalan tadi lalu digiling halus untuk selanjutnya di bakar dengan suhu 600 derajat celcius hingga mendapatkan reaktivitas yang diingikannya.
Semen halus hasil pembakaran ini kemudian dijadikan bahan baku pembuatan beton. Hasil temuan Profesor Petra ini lalu diuji coba dengan cara mencampurkan lumpur Lapindo tadi dengan semen, dengan perbandingan 50% lumpur Lapindo dan 50% semen. Alhasil, dari percobaan ini didapatlah beton dengan kekuatan 50,80 mpa (mega pascal) setelah beton berumur 28 hari. Kekuatan beton ini melebihi kekuatan standar beton biasa atau hampir mendekati kekuatan beton Petronas Twin Tower (60 mpa).
Jika kekuatan beton yang dihasilkan dari pencampuran lumpur Lapindo dan semen seperti itu, maka hasil yang menakjubkan juga di dapat dengan pembuatan beton yang hanya menggunakan bahan dari lumpur Lapindo saja. Prof Djwantoro mencampur lumpur Lapindo dengan larutan alkali agar mineral silikon dan mineral aluminum yang terkandung di dalam lumpur teroksidasi. Beton yang dibuat dengan cara seperti ini menghasilkan beton berkekuatan 50 mpa atau setara dengan beton campuran semen dan lumpur Lapindo.
Hasil temuan Profesor Universitas Kristen Petra Surabaya ini telah dipatenkan secara internasional dan nantinya semen dari lumpur Lapindo ini akan memenuhi pasar dunia, mengingat semakin menipisnya bahan dasar pembuatan semen biasa sedangkan bahan semen dari lumpur Lapindo masih melimpah ruah jumlahnya.